Konsep Tawasuth, Tawazun dan I'tidal
Konsep Tawasuth, Tawazun dan I'tidal
oleh Dr. H. Chazim Maksalina, M.H.
Ketua Pengadilan Tinggi Agama Gorontalo
Konsep-konsep tawasuth, tawazun dan I'tidal adalah sikap dan perilaku yang menjadi karakter ahlu sunnah waljama'ah.
Ada tiga kata yang membentuk istilah tersebut.
Ahl , berarti keluarga, golongan atau pengikut.
Al-Sunnah, yaitu segala sesuatu yang telah diajarkan oleh Rasulullah Saw. Maksudnya, semua yang datang dari Nabi Saw , berupa perbuatan, ucapan dan ketetapan Nabi SAW. (Fath al-Bari, juz XII, hal. 245).
Al-Jama’ah , yakni apa yang telah disepakati oleh para sahabat Rasulullah Saw pada masa Khulafaur Rasyidin (Khalifah Abu Bakr, Umar bin al-Khaththab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib).
Syaikh Abdul Qadir al-Jilani (471-561 H/1077-1166 M) menjelaskan:
“ Al-Sunnah adalah apa yang telah diajarkan oleh Rasulullah SAW (meliputi ucapan, perilaku serta ketetapan beliau). Sedangkan al- Jama‘ah adalah segala sesuatu yang telah menjadi kesepakatan para sahabat Nabi SAW pada masa Khulafaur Rasyidin yang empat, yang telah diberi hidayah (mudah-mudahan Allah memberi rahmat kepada mereka semua)”. (Al-Ghunyah li Talibi Thariq al-Haqq, juz I, hal. 80).
Lebih jelas lagi, KH Muhammad Hasyim Asy’ari (1871-1947) menyebutkan dalam kitabnya Ziyadat Ta’liqat.
“Adapun Ahlussunnah Wal-Jama’ah adalah kelompok ahli tafsir, ahli hadits dan ahli fiqih. Merekalah yang mengikuti dan berpegang teguh dengan sunnah Nabi dan sunnah Khulafaur Rasyidin setelahnya. Mereka adalah kelompok yang selamat (al-firqah al-najiyah). Mereka mengatakan, bahwa kelompok tersebut sekarang ini terhimpun dalam mazhab yang empat, yaitu pengikut Madzhab Hanafi, Syafi’i, Maliki dan Hanbali.”
Ahlussunnah Wal-Jama’ah adalah Islam yang murni sebagaimana yang diajarkan oleh Nabi SAW dan sesuai dengan apa yang telah digariskan serta diamalkan oleh para sahabatnya.
Ada tiga ciri utama ajaran Ahlussunnah wal Jamaah yang selalu diajarkan oleh Rasulullah SAW dan para sahabatnya:
Pertama, at- tawassuth atau sikap tengah-tengah, sedang-sedang, tidak ekstrim kiri ataupun ekstrim kanan. Ini disarikan dari firman Allah SWT, yang artinya:
"Dan demikianlah kami jadikan kamu sekalian (umat Islam) umat pertengahan (ummatan wasathan) agar kamu menjadi saksi atas manusia umumnya dan supaya Allah SWT menjadi saksi atas kamu sekalian. (QS al-Baqarah: 143).
Kedua at tawazun atau seimbang dalam segala hal, termasuk dalam penggunaan dalil ' aqli (dalil yang bersumber dari akal pikiran rasional) dan dalil ' naqli (bersumber dari Al-Qur’an dan Hadits). Firman Allah SWT, yang artinya:
"Sungguh kami telah mengutus rasul-rasul kami dengan membawa bukti kebenaran yang nyata dan telah kami turunkan bersama mereka al-kitab dan neraca (penimbang keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. (QS al-Hadid: 25)
Ketiga, al- i'tidal atau tegak lurus. Dalam Al-Qur'an Allah SWT berfirman yang artinya:
"Wahai orang-orang yang beriman hendaklah kamu sekalian menjadi orang-orang yang tegak membela (kebenaran) karena Allah menjadi saksi (pengukur kebenaran) yang adil. Dan janganlah kebencianmu pada suatu kaum menjadikanmu berlaku tidak adil. Berbuat adillah karena keadilan itu lebih mendekatkan pada taqwa. Dan bertakwalah kepada Allah, karena sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. (QS al-Maidah: 8)
Selain ketiga prinsip ini, golongan Ahlussunnah wal Jama'ah juga mengamalkan sikap tasamuh atau toleransi. Yakni menghargai perbedaan serta menghormati orang yang memiliki prinsip hidup yang tidak sama. Namun bukan berarti mengakui atau membenarkan keyakinan yang berbeda tersebut dalam meneguhkan apa yang diyakini. Firman Allah SWT, yang artinya:
"Maka berbicaralah kamu berdua (Nabi Musa AS dan Nabi Harun AS) kepadanya (Fir'aun) dengan kata-kata yang lemah lembut dan mudah-mudahan ia ingat dan takut". (QS. Thaha: 44)
Ayat ini berbicara tentang perintah Allah SWT kepada Nabi Musa AS dan Nabi Harun AS agar berkata dan bersikap baik kepada Fir'aun. Al-Hafizh Ibnu Katsir (701-774 H/1302-1373 M) ketika menjabarkan ayat ini mengatakan, "Sesungguhnya dakwah Nabi Musa AS dan Nabi Harun AS kepada Fir'aun adalah menggunakan perkataan yang penuh belas kasih, lembut, mudah dan ramah. Hal itu dilakukan supaya lebih menyentuh hati, lebih dapat diterima dan lebih berfaedah". (Tafsir al-Qur'anil 'Azhim, juz III hal 206).
Dalam tataran praktis, sebagaimana dijelaskan KH. Ahmad Shiddiq bahwa prinsip-prinsip ini dapat terwujudkan dalam beberapa hal diantaranya akidah, syari’ah, tasawwuf, pergaulan antar golongan, kehidupan bernegara, kebudayaan, dan dakwah.
Wallahu 'alam bis showab
Allhumma sholli 'ala sayyidina Muhammad wa 'ala alihi wa ashabihi wa sallim.
