Refleksi Patuh Hukum

Ditulis oleh Ersi Indah A on .

Ditulis oleh Ersi Indah A on . Dilihat: 905

Refleksi Patuh Hukum

oleh Dr. H. Chazim Maksalina, M.H.

Ketua Pengadilan Tinggi Agama Gorontalo

          

           Kembali kita dikejutkan dengan peristiwa tragis penembakan polisi terhadap polisi, yang justru pelaku dan korban adalah penegak hukum. Ini menambah krisis pengetahuan, budaya, kesadaran dan kepatuhan hukum bagi setiap warga bahkan penegak hukum itu sendiri. 

           Tidak semua masyarakat dapat mematuhi hukum, karena hukum tidak serta merta terdapat langsung dalam diri seseorang, ada pengaruh sosial yang membuat seseorang lama kelamaan akan mematuhi hukum dengan sendirinya.

           Terdapat masyarakat yang mematuhi aturan dikarenakan takut akan diberi sanksi, ada pula yang mematuhi aturan dikarenakan status sosial di masyarakat.    

      Menurut Soekanto kepatuhan pada hakekatnya merupakan suatu hasil dari proses internalisasi di dalam diri individu yang terbentuk karena adanya pengaruh sosial yang memberikan efek pada pengetahuan seseorang, sikap-sikap maupun pola perilaku yang akan menghasilkan tindakan yang sesuai (Suadi,2018:196).   

       Dengan demikian jika dikaitkan dengan hukum, maka kepatuhan hukum mencerminkan perilaku-perilaku yang sesuai dengan hukum.

           Kepatuhan terhadap hukum bersifat wajib, karena hukum itu sendiri merupakan aturan-aturan yang bersifat memaksa, sehingga harus ditaati oleh seluruh warga negara. Sejalan dengan pendapat di atas, menurut Sudjana (2016:4) menyatakan bahwa kepatuhan hukum erat hubunganya dengan paksaan untuk menaati aturan yang berlaku dikarenakan adanya sanksi, sehingga seseorang akan menaati aturan tersebut dikarenakan takut terhadap sanksi.

           Setiap masyarakat memiliki tingkat kepatuhan hukum yang berbeda-beda, mulai dari tingkat kepatuhan yang paling tinggi hingga yang terendah. Untuk mengetahui kepatuhan hukum seseorang terdapat indikasi yang menjadi tolak ukur dalam menakar tingkat kepatuhan hukum seseorang. 

          Menurut H.C Kelmen (Pujirahayu, 2020: 126) indikator kepatuhan hukum dapat dibedakan menjadi 3 diantaranya:

  1. Compliance

            _Compliance_ merupakan suatu kepatuhan didasarkan pada harapan akan 

suatu imbalan atau menghindari diri dari suatu hukuman. Hal ini berarti seseorang akan mematuhi aturan apabila mendapatkan suatu imbalan atau 

untuk menghindarkan diri dari sanksi hukuman yang dijatuhkan. Sehingga akibatnya kepatuhan akan ada apabila terdapat pengawasan yang ketat dari pelaksanaan aturan tersebut. 

  1. Identification.

            _Identification_ merupakan kepatuhan terjadi bukan karena nilai _intrinsiknya_ akan tetapi agar keanggotaan kelompok tetap terjaga serta ada hubungan 

baik dengan mereka yang diberi wewenang untuk menerapkan aturan tersebut. Sehingga kepatuhan seseorang tergantung baik-buruknya 

hubungan antar individu.

  1. Internalisation.

           _Internalisation_ terjadi jika seseorang mematuhi kaedah hukum secara _intrinsik_ kepatuhan tadi mempunyai imbalan.    

             Pada proses ini 

kepatuhan seseorang didasarkan pada kepercayaan terhadap tujuan dari 

kaedah-kaedah yang bersangkutan dengan mengesampingkan pemegang kekuasaan dan pengawasan kaedah tersebut. 

         Tentu saja, dalam melakukan pengukuran tingkat kepatuhan hukum masyarakat akan memperoleh hasil yang berbeda-beda. Hal tersebut bisa terjadi karena adanya pengaruh sosial yang berbeda-beda, sehingga menghasilkan tingkatan yang berbeda pula.

           Pakar Sosiologi Hukum Prof.DR. Satjipto Raharjo, dalam bukunya _Sisi-Sisi Lain Dari Hukum di Indonesia_, Penerbit Kompas, 2003, secara implisit menyimpulkan bahwa, adanya perasaan tidak bersalah, sekalipun putusan _judex factie_ (PN dan PT) telah menyatakan yang bersangkutan bersalah, merupakan preseden buruk bagi tegaknya budaya hukum di negeri ini. Pandangan kritis pakar sosiologi hukum itu patut menjadi renungan kita bersama, sebab di dalamnya terkandung pesan yang sangat dalam mengenai perlunya kita mentradisikan budaya hukum di negeri ini, karena tanpa tertanam budaya hukum mustahil dapat ditegakkan hukum yang berkeadilan.

          Oleh karenanya sekalipun masyarakat kita sadar terhadap hukum yang berlaku di negaranya, belum tentu masyarakat kita tersebut patuh pada hukum tersebut. Kepatuhan terhadap hukum adalah merupakan hal yang substansial dalam membangun budaya hukum di negeri ini, dan apakah sebenarnya kepatuhan hukum itu?.

          Kepatuhan hukum adalah kesadaran kemanfaatan hukum yang melahirkan bentuk _kesetiaan_ masyarakat terhadap nilai-nilai hukum yang diberlakukan dalam hidup bersama yang diwujudkan dalam bentuk perilaku yang senyatanya patuh terhadap nilai-nilai hukum itu sendiri yang dapat dilihat dan dirasakan oleh sesama anggota masyarakat.

Perlu ditegaskan lagi, bahwa kepatuhan hukum masyarakat pada hakikatnya adalah kesadaran dan kesetiaan masyarakat terhadap hukum yang berlaku sebagai aturan main (_rule of the game_) sebagai konsekuensi hidup bersama, di mana kesetiaan tersebut diwujudkan dalam bentuk perilaku yang senyatanya patuh pada hukum (antara _das sein_ dengan _das sollen_ dalam fakta adalah sama) .

          Secara _a contra-rio_ jika di dalam masyarakat banyak kita dapatkan bahwa masyarakat tidak patuh pada hukum hal ini dikarenakan individu dan masyarakat dihadapkan pada dua tuntutan kesetiaan di mana antara tuntutan kesetiaan yang satu bertentangan dengan tuntutan kesetiaan lainnya.    

          Misalnya masyarakat tersebut dihadapkan pada pilihan setia terhadap hukum atau setia terhadap _kepentingan pribadinya_, setia dan patuh pada atasan atau  masyarakat tidak patuh pada aturan lalu-lintas, perbuatan korupsi, perbuatan anarkisme dan main hakim sendiri (_eigen rechting_) karena mereka lebih mendahulukan setia kepada kepentingan pribadinya atau kelompoknya.

         Apalagi masyarakat sekarang ini menjadi lebih berani tidak patuh pada hukum demi kepentingan pribadi karena hukum dalam penegakannya mereka nilai tidak mempunyai kewibawaan lagi, di mana penegak hukum karena kepentingan pribadinya pula tidak lagi menjadi penegak hukum yang baik, penegakan hukum dirasakan diskriminatif. Sehingga dalam hal ini, kesetiaan terhadap kepentingan pribadi menjadi pangkal tolak mengapa manusia atau masyarakat kita tidak patuh pada hukum.

         Jika faktor kesetiaan tidak dapat diandalkan lagi untuk menjadikan masyarakat patuh pada hukum, maka negara atau pemerintah mau tidak mau harus membangun dan menjadikan rasa takut masyarakat sebagai faktor yang membuat masyarakat patuh pada hukum. Wibawa hukum akan dapat dirasakan jika kita punya komitmen kuat, konsisten dan kontinu menegakkan hukum tanpa diskriminatif, siapapun harus tunduk kepada hukum, penegakan hukum tidak boleh memihak kepada siapapun dan dengan alasan apapun, kecuali kepada kebenaran dan keadilan itu sendiri.   

          Disitulah letak wibawa hukum dan keadilan hukum. Namun jika hukum diberlakukan secara diskriminatif, penuh rekayasa politis, tidak dapat dipercaya lagi sebagai sarana memperjuangkan hak dan keadilan, maka jangan disalahkan jika masyarakat akan memperjuangkan haknya melalui jalur kekerasan atau hukum rimba atau kekerasan fisik (_eigen rechting_). 

         Dalam banyak fakta sekarang ini Indonesia telah mengalami krisis kepatuhan hukum karena hukum telah kehilangan substansi tujuannya, dan budaya perilaku masyarakat telah memandang hukum ditegakkan secara diskriminatif dan memihak kepada kepentingan tertentu bagi orang-orang berduit, dan berkuasa. Quo Vadis Penegakan Hukum Indonesia, ke mana engkau pergi...

 _Wallahu a'lam bi showab_ 

 _Allahumma sholli 'ala sayyidina Muhammad wa 'ala alihi wa sohbihi wa sallim ajma'in_